Peran Krusial Kejaksaan di KUHAP Baru Jaksa Miliki Wewenang Penyadapan hingga Pemblokiran
KEJATI SULSEL, Makassar – Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) sukses menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) dan seminar besar bertajuk “KUHAP BARU: Tantangan dan Harapan” di Swiss-Belhotel Makassar, Kamis (11/12/2025). Forum ini menjadi sarana penting untuk membedah terobosan dan implikasi dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru.
Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Dr. Didik Farkhan Alisyahdi dalam sambutannya di awal acara, menekankan bahwa KUHAP baru membawa terobosan seperti mekanisme Deferred Prosecution Agreement (DPA) atau pengakuan bersalah, meskipun saat ini dalam KUHAP hanya disetujui untuk korporasi. Beliau menambahkan bahwa proses ini harus tetap mendapat persetujuan dari Hakim.
Prof. Dr. H. M. Said Karim, S.H., M.H., M.Si., C.M., C.L., Guru Besar Hukum Pidana FH Unhas, memaparkan bahwa setelah 44 tahun digunakan, KUHAP lama ditemukan memiliki berbagai kekurangan, sehingga perlu diganti dengan KUHAP Baru (2025) untuk menciptakan supremasi hukum, menjamin hak-hak tersangka hingga korban, serta mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu yang selaras dengan perkembangan teknologi informasi.
“KUHAP baru membawa tiga paradigma mendasar: Judicialized Criminal Procedure—menjadikan hakim sebagai pusat kontrol dengan kurang lebih 44 wewenang yang dimiliki Ketua Pengadilan Negeri (KPN)—Due Process & Perlindungan HAM, dan Restorative Justice. Ia juga menyoroti sembilan jenis Upaya Paksa baru, termasuk pemblokiran dan pencekalan di luar negeri, serta menetapkan bahwa syarat penetapan tersangka harus didasarkan pada minimal dua alat bukti,” kata Prof. Said Karim.
Sementara itu, Rudiyanto Lallo, S.H., M.H., Anggota Komisi III DPR RI, menegaskan bahwa KUHAP baru berorientasi pada upaya menciptakan Keadilan yang Restoratif, Restitutif, dan Rehabilitatif. Filosofi ini menciptakan keseimbangan antara hak warga negara dan penegakan hukum, dengan prinsip CITIZEN = STATES (EQUAL).
Rudianto menggarisbawahi perluasan ruang lingkup Praperadilan menjadi enam poin, yang kini mencakup sah atau tidaknya pelaksanaan seluruh Upaya Paksa (termasuk penetapan tersangka), serta penundaan penanganan perkara tanpa alasan yang sah.
“Dalam KUHAP yang baru ada akomodasi spesifik untuk kelompok rentan, seperti hak Penyandang Disabilitas atas pelayanan, sarana prasarana, dan pengangkatan pendamping, serta hak Perempuan diatur dalam Pasal 147 ayat (2) untuk mendapatkan perlakuan yang bebas dari sikap merendahkan, menyalahkan, dan/atau mengintimidasi,” sebut Rudianto Lallo.
Dari perspektif penegak hukum, Kombes Pol Setiadi Sulaksono, Dirkrimum Polda Sulsel, menyoroti visi PERADILAN PIDANA MODERN, AKUNTABEL, DAN BERKEADILAN. Hal ini diwujudkan melalui penguatan Prinsip Diferensiasi Fungsional (Pasal 2 Ayat 2) dan transparansi, di mana pemeriksaan tersangka akan diawasi oleh CCTV.
Ia juga menjelaskan penambahan alasan penahanan (Pasal 100 ayat 5), di antaranya karena Tersangka/Terdakwa memberikan informasi tidak sesuai fakta pada saat pemeriksaan, menghambat proses pemeriksaan, dan mempengaruhi saksi.
“Keadilan Restoratif dapat diterapkan di semua tahap (penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan sidang pengadilan), namun dikecualikan untuk tindak pidana tertentu seperti terorisme, korupsi, kekerasan seksual, atau tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 tahun,” jelas Kombes Pol Setiadi.
YM Judi Prasetya, Hakim Tinggi PT Makassar, fokus pada mekanisme Pengakuan Bersalah (Plea Bargain). Mekanisme ini dapat diterapkan pada pelaku yang baru pertama kali melakukan tindak pidana, tindak pidana dengan ancaman paling lama 5 tahun atau denda Kategori V (Rp500.000.000,00), dan bersedia membayar restitusi.
“Pengakuan Bersalah wajib didampingi Advokat, diajukan dalam sidang tertentu sebelum persidangan pokok perkara dimulai, dan bila diterima Hakim, sidang dilanjutkan dengan pemeriksaan acara singkat,” ungkap Judi.
Ia juga menyoroti ketentuan baru dalam banding, di mana Penuntut Umum wajib menyertakan memori banding (Pasal 289); jika terlampaui jangka waktu dan memori banding tidak diajukan, permohonan banding gugur.
Di sisi lain, Dr. H. Tadjuddin Rahman, S.H., M.H., Advokat Senior, memberikan perspektif kritis mengenai potensi penyalahgunaan wewenang. Ia merujuk pada konsideran KUHAP baru (menimbang huruf C) yang menyatakan pembaharuan dimaksudkan untuk memperkuat fungsi, dan wewenang aparat penegak hukum. Tadjuddin juga menyoroti Pasal 16 tentang Penyelidikan yang mencantumkan butir (k) yaitu "Kegiatan lain yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan," yang dianggap berpotensi multi tafsir.
“Ketentuan upaya hukum terhadap putusan Praperadilan, di mana Pasal 164 ayat (2) menghidupkan kembali hak banding terhadap putusan Praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian Penyidikan atau Penuntutan—ketentuan yang sebelumnya berdasarkan Putusan MK Nomor 65/PUU-IX/2011 dinyatakan tidak berlaku,” ungkap Tadjuddin.